Pandai Besi
ANN Dunham, antropolog Amerika Serikat dan ibu
Presiden Amerika Barack Obama, terpaku heran melihat dua pembesar desa
menunjukan sikap takzim pada perajin keris, Pak Djeno. Mereka berbicara dengan
nada yang direndahkan. Kepala mereka seringkali menunduk ketika mendengar Pak
Djeno berbicara. Tak seperti yang Ann kenal, sikap mereka berbeda; tak ada
kelakar dan tawa dari mereka sebagaimana biasa. Dua pembesar itu menemani Ann
yang sedang menyusun disertasi mengenai pandai besi di Indonesia. Pada 1988,
Ann menyambangi desa di Sleman, Yogyakarta, untuk menambah bahan-bahan
penulisan.
Sebelumnya, Ann tak tahu bahwa pandai besi
memiliki posisi yang tinggi meski secara kelas sosial wong cilik. Dia
baru tahu saat menatap rajah silsilah di dinding rumah Pak Djeno. Rajah itu
menunjukan Pak Djeno sebagai generasi keempatbelas keturunan pandai besi
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Ann terkesiap. Di tengah rasa kejutnya, Ann
disodorkan beberapa keris oleh Pak Djeno. Dia memutuskan membeli salah satunya.
Sikap dua pembesar desa terhadap Ann pun berubah. Kejadian ini dia tuangkan
dalam disertasinya yang telah dibukukan, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara.
Pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau.
Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna,
cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka. Kala itu, mereka dikenal
sebagai pandai wsi (besi).
Beberapa desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan
Kedok dikenal sebagai asal pandai besi sedari abad ke-8. Mereka mengolah bijih
besi yang terdapat di dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan.
Dari sini terbentuk jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual
karyanya berupa pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian.
Waktu itu, masyarakat Jawa menempatkan pandai
besi pada posisi unik. Ada yang menganggap keahlian mereka tak lebih dari
tukang sehingga status dan kelas sosialnya rendah. “Dalam beberapa naskah
kesusastraan seperti Slokantara (abad ke-14) dan Agama Adigama,
kelompok pandai dimasukkan ke dalam kelompok candala, yaitu kelompok
masyarakat yang kedudukannya paling rendah,” tulis Titi.
Naskah Tantri Kamandaka, yang ceritanya
diabadikan dalam relief Candi Jago (abad ke-13) di Malang Jawa Timur, memuat
hal-ihwal musabab masuknya pandai besi ke kelompok candala. Mulanya,
seorang pandai besi terlibat pencurian. Seorang brahmana lalu menolongnya.
Namun pandai besi itu bukannya berterimakasih, malah menimpakan tuduhan
pencurian ke brahmana. Raja marah dan menghukum brahmana ke penjara. Beberapa
lama, barulah raja tahu kisah sebenarnya. Brahmana dibebaskan dan pandai besi
dijatuhi hukuman mati.
Di sisi lain, menurut Titi, pandai besi memiliki
kedudukan penting dalam masyarakat. Keterangan itu antara lain tersua dalam
salah satu prasasti masa Sindok (abad ke-9). Termaktub pula di
dalamnya sebutan bagi mereka, ‘mpu’. Gelar ini tak mungkin disematkan jika
mereka hanya menjadi kelompok rendahan.
Indolog CF Winter mengemukakan, kedudukan pandai
besi dapat terlihat dalam penamaan Candi Prambanan. Dia menduga kata Prambanan
berasal dari Parambanan atau Poerambanan, yang berarti empu Rombo atau Rombo
sang pandai besi. Karena itu, dia berpendapat pandai besi berkedudukan tinggi.
“Namun Winter tidak membahas hubungan yang barangkali cuma kebetulan belaka
antara seorang pandai besi semacam itu dan candi dimaksud,” tulis Roy Joordan,
“Candi Prambanan Sebuah Pendahuluan Mutakhir,” termuat dalam Memuji
Prambanan.
Sementara itu, menurut sejarawan Anthony Reid,
keahlian mengolah besi dapat menjadi sarana penciptaan kekuasaan. “Pengerjaan
barang-barang dari logam merupakan penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari
logam pertama-tama diperlukan untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian,”
tulis Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Reid mencontohkan,
cerita Ciung Wanara yang menyertakan pandai besi, dengan kekuatan magisnya,
sebagai tokoh penting dalam perebutan tahta Kerajaan Galuh (abad ke-7-8).
Logam, khasnya besi, kerapkali dipandang sebagai
simbol keteguhan dan kekuatan. Untuk mengolah besi, seseorang tak cukup hanya
mempunyai keahlian kasar, tapi juga kehalusan batin agar besi tertempa
sempurna. Tak heran, sebagian masyarakat kala itu menilai pandai besi menyimpan
aura suci. Pada masa Majapahit, mereka dikumpulkan di ibukota untuk menjamin
kekuatan perang balatentara Majapahit. Mereka dilindungi raja dan dijamin
kesejahteraannya.
Ketika Majapahit perlahan runtuh, sebagian pandai
besi memilih bertahan dan menurunkan keahliannya. Kelak, Kesultanan Demak dan
Mataram menggunakan jasa mereka untuk memperkuat persenjataannya. Tak sedikit
pula pandai besi yang menyebar ke wilayah pedesaan. Dua yang terkenal adalah
kakak-adik, Empu Supo dan Empu Suro. Bersama pelarian lainnya, mereka menuju ke
selatan lalu berhenti di sebuah hutan tak berpenghuni yang dirasa aman. Bangunan
untuk tempat tinggal pun didirikan hingga tempat itu menjadi desa.
Empu Supo dan Empu Suro meneruskan usahanya
membuat aneka pusaka besi seperti keris dan tombak. Pesanan mulai berdatangan.
Penasaran, sejumlah orang segera mendatangi tempat itu yang kemudian disebut
Kampung Pandean. Nama itu bertahan hingga sekarang untuk menyebut sebuah desa
kecil di Umbulharjo, Yogyakarta. Keahlian mengolah besi pun lestari hingga kini
pada segelintir penduduk. Beberapa di antaranya menisbatkan diri sebagai keturunan
pandai besi zaman Majapahit. Status yang meninggikan mereka meski pekerjaannya
dianggap kasar.
Posisi Pandai Besi
Dikutip dari:
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
Ia dipandang sebagai candala (tukang) dan empu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar