LEKRA DAN SEJARAH
LEKRA sebenarnya sebuah fenomena luar biasa dalam
sejarah Indonesia. Saya kira sulit bagi kita yang tidak berpengalaman langsung
sekarang ini membayangkan betapa besar, betapa canggih dan besar pengaruh LEKRA
pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1963 Pramoedya Ananta Toer pernah
melaporkan bahwa keanggotaan LEKRA sudah melebihi seratus ribu orang. Seratus
ribu pekerja kebudayaan. Bisa saja klaim ini berlebihan apalagi setahu saya
LEKRA tidak pernah mengembangkan keanggotaan resmi. Tetapi jelas bahwa pada
waktu itu pengikut LEKRA sudah mencapai puluhan ribu orang. Sebelum kemerdekaan
Indonesia dan sejak naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden, tidak ada
organisasi kebudayaan yang mendekati skala massal ini. Pengaruh LEKRA pada
tahun 1950-an dan 1960-an sangat luas. Tidak hanya di bidang seni modern
seperti seni rupa dan sastra, tapi juga sampai cabang-cabang seni rakyat
seperti ketoprak, tari tradisional, pesindenan, pedalangan dan seni batik.
Kalau LEKRA merupakan fenomena yang unik dalam
sejarah nasional Indonesia, begitu pula halnya dalam sejarah internasional.
Tentu saja ada organisasi kebudayaan di negara-negara lain di luar Indonesia.
Tetapi organisasi yang massal dan luas hanya ada di negara-negara sosialis, dan
organisasi itu bagian dari aparatus negara dan kebanyakan anggotanya merasa
wajib ikut. Juga pernah ada kebudayaan kiri yang tidak menjadi bagian apartus
negara, misalnya gerakan kebudayaan kiri pada masa Weimar di Jerman. Tetapi
tingkat pengorganisasiannya sangat rendah dan informal dibandingkan LEKRA.
Tentu saja dalam kesadaran umum di Indonesia
sekarang LEKRA tidak dikenal sebagai suatu fenomena unik dalam sejarah seperti
saya gambarkan tadi. LEKRA paling hanya dikenal sebagai organisasi yang konon
terlibat dalam G-30-S/PKI. Jadi LEKRA dianggap sebagai organisasi penjahat.
Tapi tidak seorang pun dari organisasi itu dibawa ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan peranan LEKRA dalam G 30 S/PKI atau kejahatan yang lain.
Tentu saja ini karena represi Orde Baru tidak berdasarkan hukum melainkan
berdasarkan kepentingan politik. LEKRA dianggap sealiran dengan musuh politik
Soeharto dan pendukungnya dan oleh karena itu mesti dihancurkan. Dari akhir
tahun 1965 sampai permulaan tahun 1967 ribuan anggota LEKRA ditahan tanpa
hukuman pidana dan ribuan lagi dibantai begitu saja. Represi massal ini tidak
bisa dijalankan tanpa pembenaraan ideologis. Masalahnya represi itu merupakan
trauma bukan hanya untuk orang yang menjadi korban tapi juga pelaku represi dan
masyarakat umum.
Pembenaran ideologis ini mulai dikembangkan dari
akhir tahun 1965 di koran dan majalah yang masih boleh diterbitkan. Tujuan
utamanya menggambarkan LEKRA sebagai alat PKI di bidang kebudayaan. Harus
dicatat di sini bahwa kejahatan PKI sudah dianggap terbukti walau pun tidak ada
seorang pimpinan yang dibawa ke pengadilan dalam bentuk apa pun. Dan
penghancuran PKI sudah berjalan dengan cara pembantaian massal. Gambaran LEKRA
sebagai alat PKI ini dikembangkan dan dipertahankan terus selama masa Orde Baru
dan dikembangkan oleh sejumlah budayawan terkemuka juga. Beberapa buku serta
puluhan artikel dan esai menekankan argumentasi semacam itu. Penulis yang
paling menonjol dalam hal ini mungkin Wiratmo Soekito dan Taufiq Ismail.
Tulisan-tulisan mereka ini sebagian besar merupakan polemik politik saja bukan
penelitian sejarah. Tulisan dari orang yang bekas anti LEKRA yang bisa
digolongkan penelitian sejarah seingat saya hanya tulisan Goenawan Mohamad pada
akhir tahun 1980-an. Dan itu dijadikan selingan di majalah Tempo.
Kalau LEKRA memang alat PKI, mengapa begitu banyak
orang bergabung dengannya? Mengapa LEKRA bisa berkembang selama 15 tahun?
Apakah rakyat Indonesia dan begitu banyak seniman hebat pada waktu itu memang
luar biasa kompleks? Penggambaran LEKRA sebagai alat sama sekali realistis,
seakan-akan ada jalur komando yang berasal langsung dari Moskow dan Beijing
melalui Politbiro PKI, lalu ke pimpinan pusat LEKRA sampai ke akar rumputnya.
Gambaran semacam ini tidak mungkin terjadi dalam sebuah organisasi sukarela
seperti LEKRA. Walaupun begitu konsepsi LEKRA PKI itu menjadi semacam sejarah
versi resmi selama mantan presiden Soeharto berkuasa. Dari permulaan tahun
1980-an mulai terdengar suara-suara dari bekas orang LEKRA, walaupun mereka
masih sangat disingkirkan dalam sistem politik Orde Baru. Pada tahun 1985 buku
Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, terbit di
Australia. Keith kembali membaca sumber asli LEKRA dan sempat berdiskusi dengan
beberapa tokoh LEKRA seperti mantan sekjen LEKRA Joebaar Ajoeb almarhum. Dalam
tulisannya Keith mengikuti argumentasi banyak veteran LEKRA dalam menegaskan
bahwa LEKRA bukan alatnya PKI, melainkan sealiran politik dengan PKI. Fokus
karya Keith adalah ideologi seni dan sebagian bukunya juga memuat antologi
karya sastra LEKRA. Jadi dia tidak memberi gambaran konkret tentang kondisi
sealiran itu.
Dua gambaran yang kita dapat selama masa Orde Baru
adalah LEKRA sebagai alat PKI di satu pihak, dan LEKRA sebagai organisasi
kebudayaan yang sealiran dengan PKI. Kedua konsepsi ini sampai sekarang masih
belum digambarkan secara konkret. Kalau mau mengerti hubungan antara PKI dengan
LEKRA, Atau mau mengerti sejarah PKI pada umumnya tidak bisa dicapai gambaran
itu. Pertanyaan seharusnya adalah bagaimana pengorganisasian LEKRA? Bagaimana
LEKRA bisa berkembang? Tentu saja di sini saya hanya bisa menggambarkan sangat
kasar tentang bentuk dan perkembangan organisasi LEKRA. Saya harap teman-teman
veteran LEKRA yang hadir di sini mau menambahkan pengalaman mereka secara
langsung.
Kalau kita ambil pendekatan sebagai alat PKI, LEKRA
muncul begitu saja pada tanggal 17 Agustus 1950 atas inisiatif pimpinan PKI.
Padahal banyak orang yang ikut LEKRA di masa awal sudah punya basis sebelumnya.
Mereka sudah aktif di sanggar-sanggar seperti Sanggar Pelukis Rakyat dan
Sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM) atau di kelompok-kelompok yang lain,
atau mereka punya kedudukan di dalam masyarakat. Organisasi-organisasi yang
sudah ada dan kegiatan yang sudah jalan tidak dihentikan untuk ikut perintah
LEKRA. Dalam hal ini LEKRA merupakan semacam badan koordinasi yang
mengembangkan organisasi dan kegiatan yang sudah ada. Lokasi berkumpul juga
penting sekali dalam pembangunan LEKRA. Ini bisa berupa kantor atau sanggar.
Anggota LEKRA makan, mandi, nginap, nongkrong dan juga berkarya di situ. Tentu
saja daya tarik LEKRA meningkat karena tokoh-tokoh yang boleh dibilang
karismatis ikut aktif dalam kegiatan LEKRA. Mereka biasanya sudah punya nama pada
tingkat daerah atau nasional, dan seringkali meyakinkan pengikut atau temannya
untuk ikut kegiatan-kegiatan LEKRA, atau aktif dalam LEKRA. Di tingkat lokal
tampaknya guru-guru SMA seringkali memainkan peranan penting, contohnya Bakri
Siregar di Medan pada permulaan tahun 1950-an. Peranan media juga jadi penting
dengan memberikan tempat bagi LEKRA dalam kesadaran umum, menyebarluaskan
kegiatan LEKRA atau kegiatan yang didukung oleh LEKRA, menemukan orang baru
yang berbakat, dan mengembangkan ketrampilan anggota yang sudah ada. Setahu
saya LEKRA hanya memiliki satu organ [penerbitan, ed] nasional yang resmi yaitu
Zaman Baru. Selain itu tentu saja ada terbitan lokal dan terbitan resmi
organisasi lainnya, termasuk buku dan dokumen. Tetapi di samping itu ada juga
terbitan yang merupakan bagian jaringan dari LEKRA, bukan organisasi LEKRA
secara formal, contohnya rubrik kebudayaan di Harian Rakyat atau Lentera di
Bintang Timur. Orang-orang LEKRA juga sering dapat tempat di rubrik kebudayaan
koran-koran daerah yang haus pada bahan, misalnya Waspada di Medan. Organisasi LEKRA berkembang dan bekerja sama
dengan organisasi lain, misalnya serikat-serikat buruh dan Badan Musyawarah
Kebudayaan Nasional (BMKN). Semakin besar organisasi-organisasi kiri macam
serikat buruh dan organisasi tani di Indonesia, semakin luas pengaruh dan daya
tarik LEKRA. Selain itu LEKRA juga membangun organisasi-organisasi baru yang
kemudian berkembang sealiran dengan LEKRA, misalnya badan nasional untuk pemain
ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia). LEKRA juga dapat banyak
perhatian dari lembaga-lembaga resmi negara, dan lembaga asing khususnya dari
negara-negara sosialis. Di dalam negeri salah satu akibatnya adalah makin
banyak perhatian dari tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Presiden Soekarno.
Soekarno sering datang ketika ada pameran LEKRA, dan juga pernah datang membuka
acara-acara resmi LEKRA seperti konperensi. Seniman dan sanggar LEKRA juga
sempat memenangkan kontrak-kontrak seni dari negara seperti patung-patung. Ini
membantu perkembangan finansial lembaga-lembaga LEKRA seperti sanggar seni
rupa. Pemerintah-pemerintah dan organisasi asing juga ikut membantu LEKRA.
Bantuan utama berupa pengiriman rombongan ke negara-negara itu, khususnya ke
negara sosialis. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah di negara-negara ini juga
cukup sering terjadi. Pada waktu itu negara-negara sosialis sedang berjaya.
Rusia dua puluh tahun sebelumnya merupakan negara termiskin dan terbelakang,
tapi waktu itu sudah menjadi negara adikuasa yang bersaing dengan Amerika
Serikat. Tapi saya berpendapat bahwa peran dukungan asing tidak terlalu
menentukan. Pengaruhnya hanya pada segelintir orang yang sempat ke luar negeri.
Pengaruh dari luar yang paling penting adalah semaraknya gerakan kiri
internasional, yang anti-kolonial atau sekaligus komunis. Ini menggairahkan dan
memberi bahan dan ilham pada gerakan di Indonesia. Walaupun gambaran saya ini
sangat kasar saya harap sudah mulai memperlihatkan LEKRA sebagai sebuah
organisasi massal, yang canggih dan yang sangat luas. Keberhasilannya sebagai
lembaga dibuktikan dengan munculnya organisasi baru yang menirunya pada tahun
1950-an dan permulaan 1960-an, misalnya LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional),
Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin) dan LESBI dan lain-lain. Pada umumnya
cara pembangunan organisasi LEKRA sangat organik, tidak memakai patokan dari
luar, tapi mengikuti pola lembaga yang sudah ada seperti sanggar-sanggar.
Cara-cara yang dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Tidak
begitu sulitkiranya menjelaskan mengapa LEKRA begitu unik dalam sejarah
internasional. Pengaruh dari luar yang paling penting adalah gerakan
anti-kolonial. Dan bukan hanya LEKRA yang terpengaruh, tapi juga gerakan
nasionalis Indonesia pada umumnya, termasuk presiden Soekarno. Dalam ceramah
pendek ini saya berusaha menguraikan dua hal. Pertama, yang sudah lama menjadi
kontroversi, yakni hubungan antara LEKRA dengan komunisme. Kedua, keunikan dan
relevansi sejarah LEKRA dalam sejarah nasional dan sejarah dunia. Saya kira
sudah jelas bahwa saya tidak bisa menerima gambaran LEKRA sebagai alat PKI,
seperti yang ditulis sejarah resmi selama Orde Baru. Pertama karena hubungan
antara gerakan komunis dan LEKRA tidak mungkin jalan seperti yang digambarkan
selama ini. Kalau kita menerima gambaran LEKRA-PKI seperti ini, artinya LEKRA
sebagai onderbouw mutlak dari PKI, maka sulit dimengerti mengapa dalam empat
tahun saja LEKRA bisa begitu mapan, bisa berkembang sehingga memainkan peran
dalam kampanye pemilu 1955. Bahwa ada orang PKI yang belakangan mau menjadikan
LEKRA sebagai onderbouw, itu masalah lain lagi. Kita bisa membahas masalah
pe-merah-an organisasi kiri pada pertengahan tahun 1960-an dalam diskusi nanti.
Kedua, gambaran LEKRA-PKI itu memang berdasarkan konsep sejarah PKI sendiri
yang tidak ilmiah. Pada umumnya PKI digambarkan sebagai fenomena yang asing dan
buatan. Padahal tidak mungkin gerakan komunis berkembang begitu pesat di
Indonesia kalau cara-caranya tidak pas bagi orang Indonesia dan kalau tidak
berakar pada lembaga-lembaga sosial di Indonesia yang sudah mapan atau sudah
mulai mapan. Dalam hal ini gambaran LEKRA sendiri sebagai fenomena asing dan
buatan, lebih tidak masuk akal lagi. Seperti saya katakan tadi, LEKRA adalah
fenomena unik dalam sejarah dunia. Menurut saya, berdasarkan penelitian saya,
cukup jelas bahwa LEKRA berkembang karena cara membangunnya sangat organik dan
sesuai kondisi lokal. Kembali ke soal hubungan komunisme dan LEKRA yang menjadi
issue panas di Indonesia. Memang masalah itu saya singgung juga dalam riset
saya, tapi pendekatan issue itu tidak produktif sebenarnya. Tidak ada issue
konkret yang diangkat dan hanya berputar pada salah-benarnya LEKRA, dan tidak
menghasilkan penulisan sejarah yang ilmiah. Saya kira lebih bagus kalau kita
mulai dengan kesadaran bahwa LEKRA itu unik dalam sejarah nasional dan juga
sejarah dunia. Lebih baik kita bertanya mengapa suatu fenomena seperti LEKRA
bisa muncul di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an, tapi di tidak di lain
tempat dan di lain waktu. Saya sudah cukup lama bicara dan sebaiknya mengakhiri
dengan beberapa pertanyaan untuk diskusi. Pertama, selama Orde Baru, rezim
Soeharto berusaha menghapus LEKRA dari sejarah nasional. Sejauh mana usaha ini
berhasil. Kalau berhasil atau tidak, kenapa? Kedua, dalam ceramah saya sama
sekali tidak bicarakan praktek-praktek seniman LEKRA. Apa masih ada pengaruh
praktek mereka di zaman sekarang? Apakah masih produktif atau relevan untuk
seniman-seniman sekarang? Ketiga, apakah sejarah LEKRA itu masih relevan
sebagai sejarah? Apa yang bisa kita ambil dan pelajari dari sejarah LEKRA? Dan
yang terakhir, apa yang perlu kita teliti atau bahas lebih lanjut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar