Sabtu, 29 Maret 2014

Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa



Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda yang diserahi tugas tugas utama meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Beban tugas yang berat tersebut didorong oleh keadaan parah keuangan negeri Belanda karena hutang yang besar. Menurut Poesponegoro (2008: 325) menyatakan bahwa masalah keuangan yang membelit Belanda tidak dapat ditanggulangi Belanda sendiri, pemikiran timbul untuk mencari pemecahan-pemecahannya di koloni-koloninya di Asia, yaitu di Indonesia. Hasil pertimbangan-pertimbangan ini menjadi gagasan Sistem Tanam Paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch sendiri.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) merupakan sebuah eksperimen unik dalam rekayasa sosio-ekonomi.  Van den Bosch  adalah salah satu orang dari Belanda yang diangkat menjadi Komisaris Jenderal yang memiliki kekuasaan luar biasa, yang pada saat itu menguasai sepenuhnya di Indonesia. Ia menerapkan Sistem Tanam Paksa untuk orang-orang pribumi Jawa guna sebagai bentuk pembaharuan dari sistem sebelumnya yang pernah mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya, yaitu sistem pajak tanah. Sebelumnya, pelaksanaan sistem ini  menimbulkan beberapa sikap buruk yang dimiliki dari orang Belanda, diantaranya Belanda tidak dapat menciptakan hubungan baik dengan pihak petani Jawa, sehingga kekerabatan antara mereka tidak terjalin dengan baik. Belanda juga tidak mencoba untuk mendekati para bupati dan kepala desa, yang nantinya dapat membantu mereka untuk mengekspor  tanaman-tanaman yang terdapat di Jawa untuk dimanfaatkan pihak Belanda sendiri.
Melihat kegagalan dari sistem tersebut, akhirnya Van den Bosch beralih ke sistem yang baru yaitu cultuurstelsel (tanam paksa). Dengan mengamati letak geografis di pulau Jawa  yang sangat luas dan memiliki berbagai macam tanaman berharga, Belanda membuat peraturan baru yang jauh berbeda dari sistem sebelumnya. Diantaranya adalah merubah strategi pada pajak yang dikehendaki dengan mengharuskan rakyat Jawa membayarnya dalam bentuk barang, yaitu menyerahkan sebagian hasil-hasil pertanian mereka untuk diserahkan kepada pihak Belanda, bukan lagi dengan menyerahkan dalam bentuk uang yang dilakukan pada masa pajak tanah.
Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1.      sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2.      Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  
3.      Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870).
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
1.      Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2.      Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3.      Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4.      Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5.      Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6.      Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
7.      Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.

Dampak Terjadinya Tanam Paksa Di Indonesia
Dampak dari terjadinya tanam paksa di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang yaitu :
1.      Dalam bidang pertanian
Culture stelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
2.      Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
3.      Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena ittu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat secara umum yaitu:
1.   Bagi Indonesia
·         Sawah ladang menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis
·         Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila panen gagal
·         Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan
·         Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat
·          Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun darstis. Disamping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.
2.   Bagi Belanda
·         Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda
·         Hutang-hutang Belanda terlunasi
·         Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
·          Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi
·         Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia dan perdagangan berkembang pesat
.    Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
1.      Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
2.      Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
3.      Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.

4.      Berkembangnya industialisasi di pedesaan

5 komentar:

Raja-Raja Majapahit

Raja-raja Majapahit Kertajasa Jawardhana (1293 – 1309) Merupakan pendiri kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya d...