Rabu, 09 Mei 2012

Resuman Sekolah Rimba

BAGIAN I 
gambar sekolah rimba
Pada tanggal 24 September 1999 Butet Manurung memulai perjalanannya menuju Kota Bangko, Jambi. Keberangkatannya dari terminal bus Rawamangun, Jakarta menuju Kota Bangko, Jambi membutuhkan waktu sekitar 22 sampai 26 jam. Setelah ia tiba di Kota Bangko, ia langsung menghubungi WARSI. Butet Manurung bekerja sebagai fasilitator pendidikan.
Dalam TNBD terdapat 3 kabupaten yaitu Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Tebo, Kabupaten Sarolangun. Ada sekitar 11 Temenggung (kepala rombong atau kelompok), dengan populasi sekitar 1.300 orang, data ini berdasarkan survey WARSI tahun 1997. Dalam 1 rombong ketemenggungan, ada beberapa rombong lagi yang terdiri dari beberapa bubung (keluarga). Biasanya setiap rombong disebut berdasarkan nama sungai besar di dekat mereka. kelompok yang pertama kalinya didatangi oleh Butet Manurung adalah rombong sungai Tengkuyungon. Saat itu, Butet hanya melihat dua orang laki-laki Orang Rimba, satunya bernama Cerinay yang berumur 21 Tahun. Ia datang untuk menunjukkan jalan kepada rombongan dari WARSI yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Satunya lagi bernama Ngandun (Bepak Terenong) yang berusia 40 tahun. Di Rimba, nama seseorang akan berunah jika ia sudah memiliki anak. Biasanya yang digunakan adalah nama anak pertama.
Ketika bertemu dengan istri dari bepak Terenong yaitu Indok Terenong, Butet kaget karena pada saat itu ia melihat Indok Terenong bertelanjang dada. Di Rimba, perempuan dewasa yang sudah menikah memang tidak mengenakan pakaian, hal ini dilakukan untuk efektivitas karena mereka menyusui bayi yang lahir hampir setiap tahun.
Ketika mengambil madu Orang Rimba melakukan cara yang fantastis dan mencekam. Pohon madu yang tingginya 40 meter dan memiliki batang berwarna putih, ada puluhan bambing (rumah lebah) yang menjuntai dicabang-cabangnya.
Buat Orang Rimba, sialang sama seperti “benda pusaka” kalau dikehidupan orang luar. Pohon ini diwariskan umumnya kepada anak perempuan terkecil. Kalau anak perempuannya ada banyak, maka semuanya akan mendapatkan pohon sialang juga. Maka dari itu, pohon Sialang terlarang untuk ditebang. Apabila dilanggar, maka hukum denda adatnya akan mahal sekali, setara dengan lima ratus lembar kain. Sebelum mengambil madu terlebih dahulu dilakukan ritual untuk “mengusir hantu kayu”. Kayu atau pohon madu harus “dirayu” agar hantunya keluar dari situ, dan Orang Rimba diperkenankan “mencicipi” madu yang telah dikirimkan dewa untuk mereka. jika hantu kayu tidak pergi, mereka percaya bahwa yang memanjat bisa terjatuh dari pucuk pohon dan tewas. Setelah proses ritual dengan hantu kayu selesai, selanjutnya tinggal menancapkan lantak. Pemanjatnya akan melantak juga menyanyikan lagu khusus, tidak merayu pohon lagi melainkan merayu induk rapah (ratu lebah), hal ini dilakukan agar lebah-lebah tersebut tidak menyerang dan menyengat pemanjat dan mengijinkan mereka mengambil madunya. Setelah itu malam harinya adalah waktu untuk mengambil manenyrapah (madu lebah).
Ketika Butet dan Amilda keluar dari hutan pada tanggal 21 Oktober 1999, ia sangat terkejut adanya tarif yang berlaku apabila”memperkerjakan” Orang Rimba sebagai guide atau porter. Sehari mereka bisa mendapatkan 15.000 atau 10.000 rupiah untuk waktu yang amat singkat (sekarang 22.500 rupiah per hari).
Pada tanggal 26 Oktober 1999, ada seekor anjing yang dikubur, padahal anjing tersebut belum mati. Begitulah cara Orang Rimba meperlakukan makhluk yang sudah sekarat. Ketika ada sebuah kesempatan bertemu dengan anak-anak Rimba, Butet melakukan sebuah kesalahan, ia menawarkan kepada mereka “apakah kalian ingin sekolah dengan aku?”, serta merta mereka menggelang cepat.
Pada suatu ketika Indok Terenong berceloteh, kata Indok Terenong kepada Butet, kalau ia ingin belajar tentang kehidupan Orang Rimba, ia harus tahu semua termasuk soal cara mereka mendapatkan tikus dan mengolahnya hingga siap dimakan.
Perjalanan Butet selanjutnya adalah mengunjungi rombong DAS Terap. Karena kebijakan dari WARSI sendiri untuk tidak mendatangi hanya satu rombong Orang Rimba saja. Rombong DAS Terap ini terdiri dari 28 pesaken (rumah tangga). Pesaken merupakan rumah tangga yang ada dalam suatu rumah. Misalnya, bila dalam satu rumah ada bepak yang memiliki dua istri, maka rumah itu terdiri dari dua pasekan. Hal ini berbeda dengan bubung yang memiliki pengertian keluarga di dalam satu rumah. Bila kasusnya seperti itu, satu bepak dengan dua orang istri, maka akan disebur satu bubung yang berisi dua pasekan.
Ketika ia sampai di kelompok tersebut yang ditemuinya hanya Depati Mulung, Menti maritua, Mangku Jujumbai dan sekitar dari setengah dari rombong DAS Terap. Sedangkan pemimpin rombong yaitu, Temenggung Mija, dan wakilnya, Nyenong serta rombongnya sedang melangun ke arah DAS Sakolado karena kematian Ibu Tiri Temenggung Mija. Melangun adalah pergi berkelana meninggalkan tempat tinggal karena ada anggota atau kerabat yang meninggal. Tujuan dilakukannya kegiatan ini adalah untuk melupakan kesedihan, buang sial, menghindari kutukan atau penyebaran wabah. Dulu, waktu melangun berkisar 6 bulan sampai dengan 7 tahun, tergantung seberapa besar pengaruh orang yang meninggal ketika ia masih hidup. Jika yang meninggal adlah seorang Temenggung, seluruh rombong bisa berkelana jauh dan lama baru mereka akan kembali ke lokasi asal. Tradisi melangun ini masih sangat kuat dijalankan, hanya saja waktunya tidak selama yang dilakukan pada waktu dulu dan wilayah dari jelajahnya makin pendek karena memang wilayah hutannya juga terus berkurang.
Buat Orang Rimba rombong Das Terap adalah suatu keanehan jika seorang perempuan berjalan seorang diri. Di tengah interaksi Butet dengan Orang Rimba disini, ia berusaha untuk mencari-cari orang yang bisa menerima dan ikut serta dalam program pendidikan. Orang dewasa yang menurunya perlu atau potensial untuk disentuh dengan pendidikan adalah Depati Mulung (29), Menti Maritua (43), dan Menyurau (25). Sedangkan untuk anak, ia mendapatkan calon potensial yang lebih banyak. Hal itu dikarenakan interaksinya dengan anak-anak lebih lancar.
Kebiasaan Orang Rimba di rombong ini adalah ketika mereka makan bersama maka yang perempuan akan duduk di belakang kumpulan laki-laki. Pada saat itu Butet merasakan ada kendala sebagai seorang perempuan untuk dapat memasukkan pendidikan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Kaum laki-laki dewasa menyatakan bahwa semacam tidak sopan jika mereka diajar oleh seorang perempuan. Sedangkan untuk perempuannya kebanyakan terlihat tidak tertarik bahkan ada yang takut. Namun, bagi anak laki-laki, ketika Butet bertanya kepada empat orang anak mereka menyatakan katertarikan untuk dapat menulis dan menggambar. Tapi saat mereka berkumpul bersama dengan anak-anak kecil lainnya, dan mereka sedang disaksikan oleh Bepak, Lidapenado dan Ngelemboh, jawaban mereka mengejutkan, ketika itu Robert bertanya apakah mereka ingin bisa membaca dan menulis, mereka serempak menjawab tidak. Alasn mereka adalah karena “ Itu tidak ada dalam adat kami Orang Rimba”.
Ketika dikunjungi oleh rombongan Perhutani Pusat dari Jakarta untuk meninjau kemungkinan perluasan CB12 (Cagar Biosfer Bukit Dua Belas), terlihat bagaimana mereka memaknai apa yang disebut “Pembanguna”. Sangat mengecewakan saat mereka mengecam WARSI, lalu mereka berkata bahwa kami telah mencagarkan Orang Rimba dan hanya akan menjadikan mereka obyek wisata karena dibiarkan tetap “terbelakang”. Artinya mereka menangkap tujuan yang sebenarnya atau atau memang sudah apriori.
Ketika Helen Cruz, Ph.D, seorang konsultan Bank Dunia yang ingin menemui Orang Rimba dan kemudian meninjau lokasi Orang Rimba. Saat itu mereka kembali membicarakan kata “terbelakang”, ia mengecam pendapat seperti itu karena ia berpendapat bahwa Orang Rimba lebih alamiah. Dan ketika ia sudah banyak mengetahui kehiduan Orang Rimba, ia pun menyatakan kalau Orang Rimba lebih bersih dan arif terhadap lingkungan daripada orang kota. Orang kotalah yang terbelakang.
Menurut Butet pendidikan merupakan langkah awal menuju pemberdayaan Orang Rimba menghadapi arus agresi dunia luar. Mungkin pendidikan saat itu dianggap tidak penting oleh Orang Rimba, namun hanya lewat pendidikanlah (yang tidak sekedar baca-tulis-hitung, tapi juga peningkatan kesejahteraan dan jaminan habitat mereka), mereka bisa secara sadar memahami eksistensi dirinya terhadap dunia luar dan kemudian merdeka menentukan arah pembangunannya.
Pertimbangan WARSI dalam memilih sasaran pendidikan setelah disimpulkan oleh Butet dari diskusi merunut pada tiga hal berikut: pertama pertimbangan lokasi yang mudah terjangkau, kedua adalah kelompok yang cenderung menetap, dan yang ketiga adalah potensi calon anak didik yang cukup banyak.
Lokasi Rombong yang dituju letaknya di Sungai Belambun Pupus, anak Sungai DAS Bernai, pemimpin rombongnya adalah Wakil Tuha. Dia adalah wakil dari Temenggung Makekal Hilir atau Temenggung Bedinding Besi. Ada 12 pesaken atau keluarga yang jumlahnya 49 jiwa. Ketika mereka ditawari untuk sekolah mereka langsung menolaknya, beberapa orang rimba dewasa mengoceh tidak karuan, seperti marah-marah. Orang Rimba disini tidak suka dibilang sebagai orang bodoh. Dan karena sudah dinyatakan langsung bahwa Butet dan teman-temannya datang untuk membawa pendidikan, Orang Rimba tadi ketakutan kalau kedatangan Butet akan mengacaukan adat istiadat mereka. Orang Rimba menyatakan bahwa mereka tidak mau sekolah.
Semua Orang Rimba masih kuat memangku adat mereka. merek pun masih hidup layaknya masyarakat ditahap pemburu dan peramu yang tergantung secara langsung pada sumber yang disediakan hutan (tidak dengan mengolah tanahnya). Bagi Orang Rimba kenikmatan tertinggi hanyalah saat hutan member mereka hidup.
Ketika ada yang sakit, Orang Rimba sudah mngetahui penyakit-penyakit mana yang ahrus diisolasi dan mana yang ridak. Mereka tahu, bahwa penyakit pusing, hati bengkak, atau terkilir itu tidak menular, sedangkan sakit batuk, pilek, malaria, segala penyakit, penderitanya harus dihindari. Itulah Orang Rimba, sejak lahir mereka tidak menhenal imunisasi, hingga pantas penyakit yang diderita satu orang akan mudah menyebar.
Hubungan anak dengan orangtua dalam kehidupan Orang Rimba, seorang anak memiliki hak untuk untuk membantah perintah atau keinginan orangtuanya, termasuk juga hak untuk marah. Selain itu, anak rimba juga diajarkan untuk dapat mampu turut delok pemakonon (mencari makanan).
Pada tanggal 23 April 2000, pagi-pagi sekali sekitar jam 06.00, secara mengejutkan tiga anak orang rimba yaitu Besudu (15 th), Batu (13 th), dan Linca (14 th) telah muncul dirumah ibu Pariyan. Yang pertama kali tiba adalah anak yang bernama Batu dengan satu tangannya yang dimasukkan ke dalam bajunya untuk menyembunyikan pensil. Ia lakukan itu karena ia malu pada keluarga di tempat tinggal Butet. Sedangkan buku yang sudah diberikan Butet untuknya dilipat-lipat disaku celana. Mereka bebicara berbisik pada Butet bahwa mereka ingin diajarkan menulis dan mereka tidak keberatan bila belajar dirumah itu daripada belajar di camp mereka dan dimarahi orang tua. Hari kedua belajar muridnya bertambah menjadi 7 anak. Butet lalu member amteri penjumlahan dengan gambar, penjumlahan dengan cerita, penjumlahan dengan angka yang sejauh ini baru sampai angka dibawah 20. Diantara murid-muridnya Batu merupakan murid yang paling cerdas dalam belajar berhitung. Hanya saja ia merupakan seorang anak yang peragu dan selalu takut salah bila menjawab.
Pada tanggal 14 Mei 2000 Indok Nyado (Indok Miti) dan Indok Sedina, datang ke tempat Butet dan langsung mengamuk karena mengijinkan anak-anak mereka datang dan belajar. Mereka berkeras bahwa Butet telah membuat Miti dan Gentar melanggar adat, mengubah halom (alam) dan akan mendatangkan kedulat. Dikatakannya juga gara-gara belajar, Miti jadi sakit sejak siang tadi.
Setiap perubahan selayaknya diikuti lagi oleh perubahan lain yang mendukungnya. Tetapi Orang Rimba hanya menerima benda-benda saja, sehingga terkadang sikap dan pengetahuan tradisionalnya tidak mampu lagi mengatasi permasalahan yang ada. Karena itu bila memang focus pada kesejahteraan orang Rimba (pengembangan SDM), maka masalah kesehatan (di samping pendidikan) dan program-programnya, perlu dipikirkan secepatnya.
Syarat pendidikan bagi Orang Rimba yang dirumuskan oleh Butet:
1. Pendidikan harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari (membumi)
Materi pendidikan harus rasional, terjangkau oleh pemikiran maupun kemampuan Orang Rimba.
2. Pendidikan harus menguntungkan
Pendidikan harus memegang peranan yang dianggap penting dan jelas-jelas disadari kegunaannya oleh mereka.
3. Pendidikan harus diorganisasikan secara lokal
Penggunaan bahasa, alam pikiran dan kebudayaan Orang Rimba akan mempercepat penerimaan pelajaran. Juga penyesuaian diri yang seolah total dengan cara hidup Orang Rimba, sekali bisa menarik diri keluar untuk dapat melihat lingkaran permasalahan sebagai orang luar.
4. Pendidikan harus membantu menumbuhkan kesadaran dan kesiapan terhadap perubahan/proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat
Harus ada penjelasan yang jujur untuk setiap resiko pilihan atau keputusan hidup mereka.
5. Tujuan sederhana dari Pendidikan adalah harus mampu membuat Orang Rimba menyadari siapa dirinya, posisinya dan akan seperti apa dia kelak.
Maksudnya adalah agar mereka siap menghadapi tekanan dari dunia luar dan proaktif mengarahkan kehidupannya.
Tamu yang diterima dalam satu keluarga atau kelompok Orang Rimba adalah tanda bahwa tamu tersebut dianggap bermaksud baik. Dalam adat Orang Rimba, seorang tamu yang “diterima” kehadirannya harus dijaga dan terjamin bahwa ia akan aman selamat dan tidak kelaparan. Bila “tamu” menderita kelaparansakit atau bahkan meninggal karena sakit, diserang binatang buas atau orang jahat lain, maka Orang Rimba yang menerima tamu akan terkena hukum sio-sio dari dewa, karena telah menyia-nyiakan tamu.
Butet berencana untuk menemui Orang Rimba di Air Hitam. Ia pun mengajak Linca untuk ikut “mengajar” di Air Hitam, meski sempat muncul kekhawatiran akan orang tuanya. Linca sangat senang dan tidak peduli dengan kekhawatiran Butet. Kedua orang tua Linca sejak dulu memang tidak pernah menyatakan keberatannya, tetapi orang-orang tua yang lain sangat kesal mengetahui Linca pergi bersama Butet. Jadilah mereka bertiga berangkat yaitu, Butet, Gentar, dan Linca. Soal hubungan kedua anak itu yitu Gentar dan Linca Butet menemukan hal yang menarik. Mereka berasal dari kelompok yang berbeda, mamiliki kepintaran dibidang yang berlainan, Linca lebih pintar menulis, Gentar lebih pintar berhitung. Mereka juga punya sifat yang berlawanan, Gentar lebih penyanyang sedangkan Linca nakal sekali. Tapi sejak sokola bersama, mereka saling merindukan dan sangat kompak. Semula Butet mengkawatirkan Linca akan punya pengaruh besar terhadap Gentar namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Jika Orang Rimba ingin menyebutkan tahun tertentu, mereka tidak akan menyebutkan tahun masehi, tetapi berpatokan pada tahun yang bersejarah. Misalnya saat ingin menyebutkan tahun 1998, mereka akan bilang setahun setelah “kemarau asap” yaitu tahun saat hutan-hutan di Sumatera banyak terbakar dan udara dipenuhi asap. Untuk menyebutkan jam-jam dalam setiap harinya, pembagian waktu mereka dalam 1 hari bukanlah 24 jam, tetapi sangat bervariasi, didasarkan pada bunyi-bunyi atau gejala yang terjadi di alam. Misalnya saat ingin menyebutkan jam sekitar pukul 06.30 Orang Rimba akan bilang weketu Butebut buit (Burung Butebut berbunyi), atau Puang Nyimpoy untuk waktu sekitar pukul 12.00-15.00, Tidur Budak (tidur anak-anak) untuk waktu sekitar pukul 20.00. Tidur Tuha (tidur orang tua) sekitar pukul antara 22.00-23.00.
Butet mengatakan kepada Linca dan Gentar, dalam mengajar ada hal lain yang lebih penting daripada kepintaran, yaitu cara kita member pelajaran. Butet memang lebih menekankan pada kepekaan, pada sikap dan kata-kata saat mengajar.
Tentu saja yang terpenting dari semua itu adalah dasar pemikiran mengapa pendidikan (yang alternative tentun saja) penting bagi Orang Rimba di masa-masa sekarang ini. Supaya alasan itu yang menjadi spirit, yang merasuki jiwa mereka bergerak kemana-mana di rimba. Spirit itu pada dasarnya sudah ada dalam hati mereka jauh sebelum mereka mulai belajar padanya. Terang saja, itu kan yang membuat mereka nekat belajar walaupun ditentang kaum tua-tua. Bahwa adat rimba saja ternyata tidak cukup untuk membendung tekanan dari luar, perlu tools lainnya.
Ada juga Orang Rimba yang berasal dari kelompok lain menyatakan keberatannya ketika mereka diajari oleh Orang Rimba dari kelompok yang lainnya. Mereka lebih memilih diajar oleh orang luar. Hal ini tidak diceritakan Butet kepada Linca dan Gentar. Waktu bertemu Nggrip, Butet sama sekali tidak berkomentar. Ia piker itu hanyalah masalah organisasi kelompok saja, semacam terhina kalau diajar oleh kelompok lain. Karena itu berarti secara tidak langsung mengakui bahwa kelompok tersebut lebih hebat dari kelompoknya.
Robert dari WARSI, yang kebetulan sedang melakukan kajian antropologis di sini, ikut membantuku “mendirikan” Sokola Rimba. Keberadaannya sangat membantu karena ia sudah kenal lama dengan Orang Rimba di sini. Rencana Sokola langsung diajukan pada bepak-bepak di sana. Tengganai Bepak Meratai, orang yang sudah sangat tua dan dituakan segera mengumpulkan anak-anak. Beliau memerintahkan anak-anak agar berpikir panjang tentang masa depan mereka kelak, juga tentang guna sokola. Di dalam isi pembicaraannya itu sama sekali tidak ada anjuran, larangan atau pemaksaan, siapa saja yang mau ia persilahkan menemui Butet.
Murid-murid di Kedundung Muda memiliki daya belajar lebih “lambat” dibandingkan dengan kelompok Gentar atau Linca kalau dihitung-hitung, pencapaian mereka selama 8 hari hanya sebanding dengan 2-3 hari kelompok Linca. Cuma sampai menghapal aksara.
Salah satu perbedaan adanya kelambatan daya belajar mereka adalah motivasi. Hampir semua murid kelompok Linca ingin sokola. Tetapi beberapa murid ada yang takut pada larangan dan kecaman pada orang tua. Beberapa yang tidak takut itulah yang nekat belajar. Sementara anak-anak yang lain akan belajar diam-diam dari yang sudah belajar dengan Butet. Anehnya, di kelompok Nggrip yang dimotivasi dan diijinkan orang tua, motivasi anaknya malahan kurang, pokoknya tidak sebesar murid-murid kelompom Linca dan Gentar. Uniknya lagi di kelompok ini, beberapa bepak (sekitar 3-7 orang), ha,pir setiap sore selesai bekerja bemanau (mencari rotan) atau mancah (buka lading). Selalu datang menonton mereka sokola. Mereka mendengarkan pelajaran yang dilakukan oleh Butet dan anak-anak Rimba dengan penuh perhatian, mengannguk-angguk kalau Butet menjelaskan sesuatu. Hal yang lucu adalah saat mereka memarahi anak-anak mereka kalau terlihat berbaring dan bermalas-malasan. Mereka bahkan menyemprot bahkan menghardik anak yang menjawab dengan salah. Sering mereka menasehati dan memotivasi anak-anak supaya sungguh-sungguh belajar, mengingat waktunya hanya tinggal sebentar lagi. Sedangkan kesempatan berikutnya harus menunggu sekitar dua minggu lagi di bulan depan. Itu pun kalau Butet diijinkan oleh WARSI.
Butet berkali-kali mengingatkan Linca dan Gentar berkali-kali bahwa kalau ada yang salah atau lolo, tidak boleh dimarahi. Tidak ada orang di dunia ini yang ingin lolo. Walaupun demikian, terkadang mereka masih saja mengulanginya. Butet maklum karena seringkali kesalahan murid hanya yang itu-itu saja. Anehnya, Butet tidak melihat anak murid menjadi tersinggung atau kapok, meskipu tidak bertambah semangat juga.
Linca dan Gentar mengajar dengan antusias. Sebelumnya pun mereka sudah penuh semangat mengajar teman-temannya di genah mereka masing-masing. Semangat mengajar mereka ternyata tidak berbeda dengan kelompok mereka sendiri. Mereka tidak pernah lelah, berusaha agar kelas yang berjalan tetap penuh dinamika. Pelajaran yang berhenti hampir selalu atas inisiatif murid daripada mereka. Mereka juga menyatakan keheranan mereka mengapa anak-anak disini tidak antusias terhadap sokola, tidak seperti kelompok mereka.
Orang Rimba mulai memikirkan uang yang membuktikan bahwa mereka sudah menjadi bagian dari perputaran uang (ekonomi) dunia luar. Dan satu fenomena bahwa mengenal uang, konsekuensinya juga harus bisa membaca. Seperti pemikiran dalam antropologi, bahwa kaum yang mulai mengenakan baju, harus juga mulai belajar mencuci baju. Kaum yang mulai mengenal gula, harus mulai belajar cara membersihkan gigi.
Pada tanggal 13 Agustus 2000, Butet dan Gentar datang lagi ke rombong Kedundung Muda di Air Hitam. Tidak seperti rombong Orang Rimba pada umumnya yang menikmati hari-harinya dengan begitu santai, rombong Nggrip yang dikenal oleh Butet ini merupakan kelompok yang paling aktif bekerja dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup mereka, terutama para bepak.
Tana peranoon merupakan sebidang tanah yang dipakai Orang Rimba khusus untuk melahirkan. Sejak kandungan berusia 7-8 bulan, ibu-ibu yang hamil tersebut akan berkumpul di tana peranaaon. Beberapa ibu yang lain yang berkerabat dekat atau ingin membantu saat menjelang proses kelahiran juga akan menemani bersama dukun beranak Orang Rimba yang mereka sebut juga bidan.
Sejak kecil, laki-laki rimba dididik untuk dapat mengekang nafsu, nafsu apapun itu. Mulai dari nafsu makan, nafsu amarah, nafsu materi, hingga nafsu seksual, namun perempuan tidak diharuskan mengekang nafsu-nafsu tersebut. Menurut mereka, lelaki bertugas untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menjaga perempuan di Rimba. Egonya harus ditekan dalam-dalam. Lelaki yang rakus diyakini mereka sebagai orang yang memikirkan dirinya sendiri. Biasanya juga malas bekerja, sehingga tidak banyak perepmpuan yang mau menjadi istrinya atau orang tua yang mau menjadi mertuanya. Sedangkan perempuan yang cerewet dan materialistis, justru dianggap akan membuat anak-anaknya kenyang, tidak terlantar, karena dia akan terus menerus mencereweti suaminya untuk rajin berburu dan (kini juga) berladang demi keluarga.
Arti menjadi laki-laki bagi mereka diartikan begitu agung. Seringkali terdengar ucapan “Awok jenton!!!!” itu ucapan sesame laki-laki yang sesekali diucapkan untuk mengingatkan pride-nya, harga diri sebagai lelaki. Laki-laki menjaga perempuan (yang mana pun) di rimba, termasuk anak-anak juga, dari gangguan orang luar, gangguan binatang buas, dan bahaya kelaparan. Setiap kali ada perkara antara laki-laki dan perempuan, hampir bisa dipastikan bahwa yang menang adalah yang perempuan. Kalaupun yang perempuan didenda, pasti yang laki-laki juga kena denda.
Butet berharap bahwa Gentar dapat diandalkan untuk kelak menjadi instruktur bagi kader-kader guru yang lain. Buatnya dia adalah Kartini versi laki-laki bagi dunia pendidikan Orang Rimba. Jiwa kepemimpinannya memang agak kurang. Kalau ingin memutuskan sesuatui sedikit ragu-ragu, penuh pertimbangan dan sering takut salah. Hal ini sebenarnya bisa ditutupi oleh Linca yang penuh kreatif dan inisiatif, walaupun terlalu impulsif.
BAGIAN II
Kehidupan di rimba ternyata lebih panjang dari yang diduga oleh Butet. Tanpa terasa ia sudah empat tahun berada di rimba. Program pendidikan Orang Rimba juga tanpa disangkanya terus berjalan, malah bisa dikatakan “berkembang”. Kalau ia menghitung-hitung seberapa banyak kekacauan yang sudah dibuatnya di tengah rimba ini, mungkin tak cukup kalau Cuma memakai jari-jari. Dari orang yang awalnya ditolak, bahkan oleh Orang Rimba sendiri, ia akhirnya diterima dan menjadi guru panggilan bagi Orang Rimba disana dini. Gagasannya soal mengembangkan kader guru dari Orang Rimba sendiri pun ternyata bisa berjalan. Anak-anak Rimba yang menjadi kader guru ada 14 orang tujuh sudah menikah, jadi tinggal tujuh orang yang masih bergerak bersama dan masih mempercayai mimpinya.
Ketika rapat bulanan Butet baru tahu bahwa, menurut mereka, aku telah melakukan kesalahan karena mengajarkan komputer kepada anak Orang Rimba, atau untuk perjuangan konservasi tepatnya. Itu menurut mereka, “kenapa e-mail tidak boleh?” bukankah mereka akan punya banyak teman dan jadi bisa saling membantu? E-mail bisa jadi media yang cepat dan baik untuk perkembangan pengetahuan dan kapasitas Orang Rimba. Penjelasan yang diberikan Butet dibalas dengan jawaban yang panjang lebar dan berputar-putar, gegar budaya lah, belum waktunya lah, sulit ia pahami.
Sampai di suatu titik, ia merasa kebingungan, benarkah ia yang salah atas semua ini. Sebenarnya, hak siapa sih untuk mengatakan bahwa mereka boleh atau tidak boleh berubah? Bukan hak siapa-siapa kan, kecuali Orang Rimba sendiri. Juga dengan pilihan yang mereka ambil. Orang Rimba berhak berubah dan Orang Rimba pasti akan berubah, ada atau tidak ada ia di hutan ini. Orang Rimba bisa memilih apakah mereka akan menggunakan e-mail dan motor atau tidak. Orang Rimba juga memiliki hak sepenuhnya untuk mengganti cara berpakaian mereka. bisa jadi mereka memang belum menyadari konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil itu. Tapi itu bukanlah alasan bagi kita untuk merasa punya hak melarang mereka kan?.
Sementara itu di tempat tinggal Orang Rimba, Bukit Dua Belas, Taman Nasional tersempit di Indonesia itu kini dianggap sebagai salah satu prestasi hasil dari perjuangan panjang. Di Koran Jambi Butet pernah membaca ulasan, bahwa Jambi kini telah memiliki 5 Taman Nasional dari yang tadinya Cuma 3 (TN Berbak, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tiga Puluh), sehingga luasan Nasional milik Jambi sudah bertambah sekian juta hektar.
Gambaran Orang Rimba yang sering dilemparkan kepada dunia luar seringkali adalah gambaran atas kehidupan pesimis Orang Rimba, bahwa Orang Rimba itu patut dikasihani, tersiksa dengan tekanan dunia luar terhadap hutannya. Jarang sekali menampilkan sudut optimis seperti keceriaan Orang Rimba atau keberdayaan Orang Rimba.
Para wartawan yang menggunakan cara pandang orang kota tentu menyulitkan dirinya sendiri dalam memahami dunia Orang Rimba dari sudut pandang Orang Rimba. Apalagi untuk memahami cara hidup Orang Rimba. Tidak heran jika gambaran Orang Rimba selalu menjadi gambaran yang pesimis, karena cara pandangnya saja sudah keliru.
Jika Butet mengikuti pertemuan antara Orang Rimba dengan orang luar, menurut orang luar, Orang Rimba perlu difasilitasi selama pertemuan itu. Tapi pada prakteknya fasilitas itu berarti menjadi penerjemah bahasa. Orang luar berbicara dalam Bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan oleh “fasilitator” ke dalam Bahasa Rimba. Kemudian dijawab dengan Orang Rimba dengan Bahasa Rimba. Lalu jawaban si Orang Rimba diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. selalu begitu. Menurut Butet, Orang Rimba jadi terlihat bodoh.
Butet tidak rela jika Orang Rimba jadi korban, atau bergerak ke suatu titik dengan terpaksa. Karena bila begitu, mereka tidak akan punya kapasitas untuk memahami setiap masalah yang datang. Lebih dari itu, ia malah ingin Orang Rimba jadi orang yang dapat memutuskan apa yang ingin mereka lakukan dalam hidupnya. Untuk itu, mereka harus punya cukup kapasitas. Menurut Butet, ini bukanlah tentang konservasi hutan belaka. Tapi ini tentang hidup mati mereka.
Ketika Butet sudah keluar dari WARSI dan ia sudah merasa seperti orang yang patah hati, malas melakukan apa pun. Ia pun tidak punya niat untuk melamar pekerjaan. Semua hal tentang pendidikan Orang Rimba ia simpan jauh-jauh agar tidak terlihat. Ia berusaha untuk melupakan mereka, berusaha melupakan kenyataan bahwa ia tidak bisa melanjutkan apa yang kupercayai. Tidak bisa mengumpulkan uang, tidak juga ada teman yang mendukung. Setiap kali ia bicarakan idenya ini dengan orang lain, mereka seperti memandangku kasihan, seperti mencoba mengalihkannya pada minat yang lain.
Tetapi ditengah kesulitan tersebut ada jalan keluarnya. Pada Januari 2004, Stefani teman dari Jerman yang pernah berkunjung ke rimba sekitar tahun 2002, datang padanya. Stefani ingin kembali ke rimba untuk keperluan riset disertasi S-3 Antropologinya yang akan dia lakukan selama dua tahun. Begitu mendengar lamarannya, Butet langsung melamar amnjadi guide, penerjemah sekaligus sebagai porter-nya. Tentu saja tujuannya agar Butet bisa ke rimba lagi. Selama bersama Stefani, Butet menceritakan semua pengalamannya termasuk kesulitan ya ia alami. Ternyata Stefani mendengarkannya dengan serius, lalu menyemangatinya agar tidak menyerah.lalu Stefani juga membuatkan proposal program. Ia pun lalu berusaha untuk mencari kenalannya di Indonesia yang kira-kira bisa membantu. Ketika Butet dan Stefani sedang sibuk memikirkan proposal program pendidikan, Dodi dan Indit datang dan bergabung dengan Butet.
Pada bulan Maret 2004 Butet mendapatkan penghargaan Woman of tha Year dari Anteve. Hadiahnya adalah uang sebesar du puluh juta rupiah. Ia langsung kegirangan, dan berpikir bahwa duit ini bisa untuk dipakai menjalankan program pendidikan di Rimba. Ia pun bisa bolak-balik lagi ke rimba tanpa bergantung pada honorku sebagai guidenya Stefani. Bulan April 2004 proposal yang ia buat dan Stefani mendapat respon dari sebuah yayasan. Yayasan itu juga bersedia untuk mambantu mereka dalam persoalan proposal tersebut.
Maka Butet dan keenam temannya yaitu Dodi sang Antropolog, Oceu sang pelukis, Indit si ahli media campaign, Willy sang surveyor dan ahli pemetaan, Rubby si ahli pendidikan lingkungan, dan Hani sang perawat mengusung mimpi di dalam SOKOLA. Memasuki bulan Juli, mereka mulai melaksanakan semua rencana yang telah dibuat dan mewujudkan mimpi mereka. dana awal mereka kumpulkan dari sisa uang hadiah Butet dan beberapa sumbangan. Mereka menjual hampir semua barang yang mereka miliki untuk menambah dana. Mereka mulai masuk ke Rimba, ke Bukit Tiga Puluh. Hal utama yang ingin mereka wujudkan adalah pendidikan bagi para kader, lalu peningkatan kualitas pendidikan yang sudah berjalan agar dapat meningkatkan kapasitas mereka. sedangkan program pertama yang mereka jalankan adalah meningkatkan pilihan atas jaminan hidup Orang Rimba.
Tanggal 13 April 2005 SOKOLA melegalkan dirinya dalam akta notaries dengan status perkumpulan. SOKOLA mengembangkan kegiatannya ke darah lain seperti Makassar, Aceh dan Flores. Juga melakukan program pendek selama beberapa bulan di daerah lain seperti Yogyakarta dan Klaten.
Pengembangan sentra sekolah memang mereka butuhkan agar Orang Rimba yang berpencar itu bisa lebih dekat mengakses sentra sekolah mereka. masing-masing sentra sekolah itu pun memiliki prioritas yang berbeda-beda dalam materi pendidikannya, disesuaikan dengan kebutuhan Orang Rimba yang berada di sekitarnya. Ada sentra yang banyak mempelajari lingkungan dan bioadata hutan (Butet dan teman-temannya menyebutnya sebagai sentra agroforestry), ada pula sentra yang masih lebih banyak baca-tulis.
Pada saat itu Orang Rimba sudah berhadapan langsung dengan perubahan-perubahan jaman. Tapi apakah perubahan itu berarti mereka tidak lagi tergantung sama hutannya, menurut saja ketika “dirumahkan” lalu mulai juga ikut tradisi sirkut kiri-kanan berkompetisi seperti di kota-kota. Dan hutannya dibabat habis saja supaya segera menjadi gedung-gedung, dengan jalan aspal dan kendaraan-kendaraan yang penuh asap.
Dari dulu sampai sekarang, hanya lima murid perempuan yang sempat belajar, itupun dari kelompok yang sudah terbuka dengan pengaruh dunia luar. Butet dan teman-temannya memang belum berhasil meyakinkan Orang Rimba bahwa anak perempuan mereka membutuhkan pendidikan juga. Butet lalu menjelaskan dengan panjang lebar sama temannya, pelajaran baca tulis yang disitu berbeda dengan sekolah pada umumnya karena baca tulis disini disesuaikan dengan kebutuhan Orang Rimba. Bahkan dalam gambar yang dibuat oleh anak-anak, dia tidak akan menemui gambar dua gunung lancip mengapit matahari. Lebih jauh dari itu sekolah Orang Rimba tidak selalu berkaitan dengan buku dan pena.
Anak Rimba memang sejak kecil sudah belajar banyak hal. Mereka akan belajar berburu ditemani anjing-anjing yang rata-rata kurus tapi tangguh, juga mulai belajar macam-macam mantera dan mitologi rimba. Begitu kegiatan anak laki-laki, yang biasanya belajar bersama ayahnya, demikian juga anak perempuan belajar bersama dengan ibunya, mereka membuat tikari daun rumbia, keranjang rotan, mengambil umbi-umbian di hutan dan mencari ikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Raja-Raja Majapahit

Raja-raja Majapahit Kertajasa Jawardhana (1293 – 1309) Merupakan pendiri kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya d...